Monday, December 24, 2012

lamtoro sebagai pakan alternatif ternak



I. PENDAHULUAN
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia adalah dengan
pemberian pakan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Sejauh ini,
pola pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, dilaporkan
merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas di daerah tropis. Dengan kata
lain, problema utama upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya
penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan
kualitas yang baik (Chen et al.,1990).
Penyediaan pakan pada ternak ruminansia meliputi 2 (dua) aspek, yang pertama
adalah penyediaan sumber pakan yang bermutu baik untuk kebutuhan mikroba yang
nantinya akan menguntungkan ternak ruminansia itu sendiri dan yang kedua adalah
penyediaan pakan untuk kebutuhan ternak sapi itu sendiri. Dalam memenuhi kedua
kebutuhan tersebut pada ternak ruminansia maka diperlukan beberapa pertimbangan
dalam penyediaan pakannya (Sutardi, 1977).
Protein sebagai zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena selain
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan
pengatur (Winarno,1991). Penggunaan protein pada bahan pakan akan membutuhkan
biaya yang tinggi sehingga memerlukan beberapa pertimbangan dalam pemberiannya
untuk pakan ternak ruminansia.
Ternak ruminansia memperoleh dua (2) sumber protein untuk kebutuhan
hidupnya yaitu protein mikroba yang terdapat di dalam saluran pencernaan dan protein
yang berasal dari makanan yang lolos dari degradasi di dalam rumen (protein by-pass).
Tahap pertama dari pemanfaatan protein adalah melalui proses pencernaan.
Menurut Sutardi (1979) dan Kavana et al., (2005) walaupun protein mikroba
bermutu tinggi, namun jumlahnya tidak akan cukup untuk mencapai produksi yang
tinggi. Oleh karena itu perlu tambahan berupa protein by-pass. Sumber protein by-pass
yang bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak bisa berasal dari
leguminosa pohon seperti lamtoro. Daun dan buah lamtoro mengandung protein dan
energi yang cukup tinggi dan juga merupakan bahan baku lokal yang banyak tersedia.
Lamtoro merupakan leguminosa pohon yang mempunyai perakaran yang dalam
dan mampu beradaptasi pada tanah yang berdrainase baik di daerah beriklim sedang
dengan curah hujan tahunan diatas 760 mm (Hoult dan Briant, 1974). Daun lamtoro
mengandung protein kasar yang cukup tinggi yakni 27-34 % dari bahan kering dan telah
umum digunakan sebagai makanan ternak, walaupun belum diketahui sejauh mana daun
lamtoro dapat meningkatkan konsumsi dan daya cerna ransum (Mathius., 1984).
Oleh sebab itu pemberian lamtoro pada ternak merupakan suatu hal yang harus
diteliti karena bisa saja penggunaan daun lamtoro dapat meningkatkan kualitas pakan
ternak dan menjadikannya sebagai suatu pakan alternatif yang dapat diberikan peternak
kita untuk meningkatkan produksi ternaknya. Untuk mengetahui bagaimana efek
penggunaan lamtoro dan protein by-pass yang dihasilkan maka dilakukanlah penelitian
tersebut dengan menggunakan metode in-vitro.
Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk
mengevaluasi kecernaan lamtoro sebagai pakan sumber protein by-pass secara in-vitro.
Hipotesis penelitian ini adalah dengan penggunaan level lamtoro yang semakin
meningkat diharapkan memberikan hasil kecernaan protein by-pass yang lebih baik dari
kontrol.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Lamtoro merupakan tanaman leguminosa pohon yang punya potensi besar untuk
dikembangkan sebagai penghasil hijauan makanan ternak sepanjang tahun. Tanaman ini
dapat menghasilkan 70 ton hijauan segar atau sekitar 20 ton bahan kering/Ha/tahun.
Komposisi kimia zat makanannya dalam bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar,
20,40 % serat kasar dan 11 % abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karotin 530.00 mg/kg dan
tannin 10,15 mg/kg (NAS, 1984).
Lamtoro dapat digunakan sebagai sumber nitrogen fermentable di dalam rumen
dan untuk mensuplai protein by-pass pada usus halus. Penggunaan lamtoro dalam bentuk
segar sebagai suplemen pada hijauan yang berkualitas rendah pada kambing
menunjukkan bahwa kira-kira 65% dari protein lamtoro didegradasi dalam rumen,
sementara diduga bahwa hanya 40% protein lamtoro yang didegradasi dalam rumen jika
lamtoro kering digunakan sebagai suplemen pada makanan domba sama dengan ransum
basal (Bamualim, 1985).
By-pass protein penting bagi ternak ruminansia karena besar persentase protein
terdegradasi dalam rumen diserap sebagai amonia dan jika konsentrasinnya dalam rumen
tinggi bisa hilang melalui urine sebagai urea. Pada kambing yang sedang berproduksi ini
merupakan pemanfaatan protein yang tidak efisien, sehingga meningkatkan jumlah
protein yang melewati ke usus (by-pass) akan lebih efisien (Mathis, 2003). Dalam
hijauan sekitar 20-30% dari protein dikandungnya adalah protein bypass, namun untuk
ternak yang sedang tumbuh atau menyusui kebutuhan protein bypass mencapai 32-40%
dari total kebutuhan protein (Klopfeinstein, 2006).
Leguminosa pohon seperti kaliandra, gamal dan lamtoro merupakan sumber
pakan ternak yang mampu menyediakan protein by-pass, karena mengandung tannin
yang dapat memproteksi protein dari pencernaan mikroba rumen (Kavana et al., 2005 ;
Lascano et al., 2003) menyatakan tannin dari kaliandra mampu meningkatkan jumlah
protein by-pass untuk ternak. Sementara itu hasil penelitian Dahlanudin (2001) suplemen
gamal dalam ransum kambing mampu meningkatkan pertambahan bobot badan.
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
A. Materi Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum dengan bahan
dasar jerami padi amoniasi dan lamtoro sebagai pakan sumber protein by-pass, cairan
rumen dan larutan Mc. Dougall’s sebagai buffer.
2. Peralatan Penelitian
Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan terdiri dari alat-alat labor yang
biasa digunakan seperti timbangan, centrifuge, lemari inkubator, termometer, gelas ukur,
tabung reaksi, kain kasa steril, autoclave, blender, erlenmeyer, tabung in-vitro, penutup
karet, shaker waterbath, toples plastik, oven, buret, cawan Conway, tabung destilasi uap,
pH meter, gas CO2 dan seperangkat alat untuk analisa proksimat.
B. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen yang
dirancang secara Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan
menggunakan 4 ulangan.
Perlakuan A = Ransum Kontrol (50% Jerami Padi amoniasi + 50% Konsentrat +
Pakan suplemen) + 0% lamtoro (kontrol)
Perlakuan B = Ransum Kontrol + 5% lamtoro
Perlakuan C = Ransum Kontrol + 10% lamtoro
Perlakuan D = Ransum Kontrol + 15% lamtoro
Perlakuan E = Ransum Kontrol + 20% lamtoro
Komposisi kimia jerami padi amoniasi dan lamtoro dalam penelitian dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Ransum yang digunakan.
Bahan Komposisi (%)
Jerami Padi Amoniasi 50
Dedak 29
Bungkil Kelapa 15
Ampas Tahu 4,5
Garam 0,5
Cattle Mix 0,3
CaCO3 0,2
Fospor 0,3
Sulfur 0,2
Total 100
Model matematis yang dipakai menurut Kamaruddin (1991) :
Yij = μ + i + j + ij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
μ = Nilai tengah umum
i = Pengaruh perlakuan (i = 1,2,3…..t)
j = Pengaruh akibat kelompok (blok) (j = 1,2,3…..k)
ij =Pengaruh sisa (yang tidak dapat dikuasai)
Oleh karena terdapat pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01) maka
dilakukan uji lanjut dengan uji lanjut DMRT (Kamaruddin,1991).
Tabel Analisis Keragaman Rancangan Acak Kelompok (RAK)
SK Db JK KT F. Hitung
F. Tabel
0.05 0.01
Perlakuan 3 JKP KTP KTP/KTS 4,76 9,78
Kelompok 2 JKK KTK KTK/KTS
Sisa 6 JKS KTS
Total 11 JKT
Keterangan : Db = derajat bebas
JK = jumlah kuadrat
KT = kuadrat tengah
C. Peubah yang diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah:
1. Derajat Keasaman (pH) cairan rumen
2. Produksi N-NH3 cairan rumen
3. Produksi VFA cairan rumen
4. Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Protein Kasar, NDF, ADF,
Hemiselulosa, dan Selulosa (%).
5. Jumlah dan Kecernaan Protein by-pass
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh perlakuan terhadap pH, kadar N-NH3 dan kadar VFA cairan
rumen.
Peubah yang diamati
Ransum
A B C D E
pH 6,81 6,80 6,84 6,79 6,84
VFA (mM) 122,25a 126,25a 127,50a 138,75b 143,25b
N-NH3 (mg/100ml) 23,91a 32,83b 35.61c 24,99a 25,53a
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh
yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap pH cairan rumen. Berarti suplementasi
lamtoro pada jerami padi amoniasi mampu mempertahankan kadar pH cairan rumen,
sehingga tidak mengganggu pertumbuhan mikroorganisme di dalam rumen. Hal ini sesuai
dengan pendapat Church (1988) yang menyatakan bahwa pH rumen yang normal untuk
aktifitas mikroba sellulolitik adalah 6,0 – 7,0.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi VFA cairan rumen. Berbeda sangat
nyatanya (P<0,01) nilai VFA antara perlakuan A, B, dan C dengan D dan E disebabkan
karena suplementasi lamtoro yang semakin meningkat. Dengan meningkatnya
suplementasi lamtoro maka kandungan karbohidrat juga meningkat, seperti yang
dilaporkan oleh Satter dan Slyter (1974) bahwa produksi VFA dari suatu bahan pakan
mencerminkan tingkat fermentabilitasnya. Semakin tinggi tingkat fermentabilitas suatu
bahan maka semakin tinggi pula VFA yang dihasilkan.
Pengaruh perlakuan terhadap rataan produksi N-NH3 juga dapat dilihat pada
Tabel 5. Hasil analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata
(P<0,01). Pengaruh yang berbeda sangat nyata ini disebabkan oleh meningkatnya
suplementasi lamtoro yang digunakan.
Peningkatan kadar N-NH3 dari A ke B menunjukkan bahwa terjadinya
perombakan protein dalam rumen yang berasal dari lamtoro. Namun perombakan tersebut
tidak begitu optimal,hal ini terlihat dari kenaikan kadar N-NH3 yang tidak berbeda nyata
dari perlakuan B ke C. Sedangkan perlakuan D dan E itu tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan A (kontrol) walaupun suplementasi lamtoro pada perlakuan D dan E lebih
banyak dari perlakuan B dan C. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan tannin yang
memperoteksi protein di dalam lamtoro sehingga protein tidak seluruhnya tercerna oleh
mikroba rumen. Arora (1989) dan Leng (1991) menyatakan bahwa proteksi protein dapat
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya pencampuran protein dengan tannin.
B. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik.
Peubah yang diamati
Ransum
A B C D E
Bahan kering 50,52a 61,06b 63,75c 65,04cd 65,59d
Bahan organik 53,35a 62,80b 63,80b 65,03c 65,11c
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis ragam memperlihatkan perlakuan yang berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Daya cerna bahan kering
dan bahan organik meningkat seiring dengan peningkatan suplementasi lamtoro. Hal ini
terjadi karena proses fermentasi berlangsung secara optimal. Hal ini sesuai dengan
pendapat Crampton dan Harris (1969) bahwa kecernaan makanan tergantung pada
aktifitas mikroorganisme rumen karena mikroorganisme rumen berperan dalam proses
fermentasi, sedangkan aktifitas mikroorganisme rumen itu sendiri dipengaruhi oleh zatzat
makanan yang terdapat dalam bahan makanan.
Tidak berbeda nyatanya kecernaan BK dan BO pada suplementasi lamtoro pada
level 15% (ransum D) dan 20% (ransum E) disebabkan oleh meningkatnya kandungan
tanin yang ada pada ransum akibat peningkatan level pemberian lamtoro. Sebagaimana
diketahui tanin merupakan senyawa poliphenolic yang mampu mengikat protein dan
membentuk senyawa kompleks. Secara umum tannin mempunyai pengaruh menurunkan
penggunaan pakan (Makkar, 2003).
Selain itu, tidak berbeda nyata tingkat degradasi pada level suplementasi lamtoro
sebesar 15% (ransum D) dan 20% (ransum E) dapat pula disebabkan oleh meningkatnya
kandungan serat kasar pada ransum akibat peningkatan suplementasi lamtoro yang
mencapai 20% dari bahan kering ransum kontrol. Sebagaimana diketahui, bahwa
kandungan serat kasar bahan pakan sangat memperngaruhi kecernaan/ degradasi bahan
kering. Semakin tinggi kandungan serat kasar maka degradasi bahan pakan semakin
rendah (McDonald, et al., 1988).
C. Pengaruh perlakuan terhadap rataan kecernaan protein.
Peubah yang diamati
Ransum
A B C D E
Kecernaan protein di
dalam rumen (%)
64,94a 55,57b 50,40c 45,51d 46,88cd
Kecernaan protein pasca
rumen (%)
40,28a 52,48b 62,49c 75,13d 76,72d
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Pada kecernaan protein di dalam rumen, setiap perlakuan memberikan pengaruh
yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Dimana kecernaan protein di dalam rumen terus
menurun seiring dengan penambahan level suplementasi lamtoro. Hal ini disebabkan oleh
kandungan tanin yang ada pada lamtoro, dimana tanin merupakan senyawa poliphenolic
yang mampu mengikat protein dan membentuk senyawa kompleks. Secara umum tanin
mempunyai pengaruh menurunkan penggunaan pakan, terutama penggunaan protein dan
menurunkan berbagai aktivitas enzim. Tanin menurunkan serangan mikrobial terhadap
partikel pakan (Makkar, 2003).
Mikroba rumen hanya mampu menggunakan degradable intake protein (DIP),
sedangkan hewan inang dapat menggunakan DIP dan undegradable intake protein (UIP =
RUDP/ Rumen Undegradable Dietary Protein). Oleh karena itu, protein yang belum
didegradasi di rumen merupakan protein yang lolos.
Meningkatnya nilai kecernaan protein pada pasca rumen disebabkan oleh protein
yang berikatan dengan tannin yang sebelumnya tidak dapat didegradasi di dalam rumen,
akhirnya dapat didegradasi pada pasca rumen. Sebagaimana dikatakan oleh Anis dkk,
(1997) bahwa tannin dapat memproteksi N dari kecernaan mikroba dalam rumen
sehingga lebih efisien dicerna pada usus halus.
D. Pengaruh kecernaan terhadap NDF (Neutral Detergent Fiber), ADF (Acid
Detergent Fiber) dan Selulosa ransum penelitian secara In-Vitro.
Peubah yang diamati
Ransum
A B C D E
NDF (%) 35,30a 41,25b 46,63c 56,12d 56,92d
ADF (%) 31,30a 39,05b 43,43c 51,94d 52,58d
Selulosa (%) 33,95a 38,70b 47,31c 55,93d 56,69d
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis keragaman memperlihatkan bahwa suplementasi lamtoro
memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai kecernaan
fraksi serat. Pada Tabel di atas terlihat bahwa nilai kecernaan fraksi serat terus
meningkat dari ransum A sampai ke ransum E. Pemberian suplementasi lamtoro yang
terbaik adalah pada ransum D (suplementasi lamtoro 15%). Meningkatnya kecernaan
fraksi serat ini disebabkan karena pemberian suplementasi lamtoro yang terus meningkat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Maynard dan Loosly (1979) bahwa nilai koefisien cerna
tidaklah tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu : komposisi kimiawi, pengolahan makanan, jumlah makanan yang
diberikan dan jenis hewan. Pendapat di atas juga didukung oleh Crampton dan Harris
(1969) yang menyatakan bahwa kecernaan makanan tergantung pada aktifitas
mikroorganisme rumen karena mikroorganisme rumen berperan dalam proses fermentasi,
sedangkan aktifitas mikroorganisme rumen itu sendiri dipengaruhi oleh zat-zat makanan
yang terdapat dalam bahan makanan.
Dari Tabel terlihat juga kecernaan NDF relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kecernaan ADF. Hal ini terjadi karena NDF memiliki fraksi yang mudah dicerna dalam
rumen, yaitu hemiselulosa, sedangkan komponen yang terdapat pada ADF yaitu selulosa,
lignin dan silika (Hakim, 1992). Meningkatnya kecernaan NDF, ADF dan selulosa
dengan suplementasi lamtoro disebabkan tidak terganggunya populasi mikroba rumen
terutama mikroba selulolitik. Kondisi pH rumen yang relatif stabil untuk pertumbuhan
mikroba rumen terutama mikroba selulolitik menyebabkan pertumbuhan bakteri
selulolitik menjadi lebih baik sehingga kecernaan fraksi serat juga meningkat.
V. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suplementasi lamtoro sebesar
15% pada ransum berbahan dasar jerami padi amoniasi secara umum mampu
mendapatkan nilai kecernaan protein pasca rumen yang paling baik. Selain itu
suplementasi lamtoro sebesar 15% juga mampu untuk mempertahankan nilai pH,
meningkatkan kecernaan zat-zat makanan yaitu BK, BO, NDF, ADF dan Selulosa dan
hasil fermentasi dalam rumen yaitu VFA. Sementara penurunan nilai N-NH3 pada
suplementasi lamtoro sebesar 15% tidak mempengaruhi kondisi mikroba rumen dan
meningkatkan protein bypass yang tergambar pada kecernaan protein pasca rumen.
DAFTAR PUSTAKA
Anis, D.s., Charls. K., Sumolang. C. 1997. Penambahan Sumber Protein By Pass pada
Jerami Amoniasi. Laporan Penelitian. Universitas Sam Ratulangi.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh Retno
Mawarni. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bamualim, A. 1985. Effect af Leucaena Fed as a suplement to ruminants an a low quality
rouhage. Proc. Of the fifth Annual Workshop of Australia-Asia. Canberra.
Chen, C. P. 1990. Management of forage for animal production under tree crops. in: proc.
integrated tree croping and small ruminant production system. INIQUES L.C
and M. D. SANCHEZ (Eds).SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. Pp. 10 –
23.
Church, D. 1988. Salivary Function and Production. IN : D. C. Church (Edr). The
Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. Prenstice Hall,
Englemood Cliff, New York.
Crampton, E. E. And L. E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition 2nd Edition. L. H.
Freeman and Co, San Francisco.
Dahlanuddin. 2001. Forages commonly available to goats under farm conditions on
Lombok Island, Indonesia Livestock Research for Rural Development. (13) 1:
www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/1/dahll31.htm. diakses 2 Januari 2012 pukul 09.00
WIB.
Hakim, M. 1992. Laju Degradasi Protein Kasar dan Organik Setaria splendida, rumput
lapangan dan alang-alang (Imperate cylindrica) dengan teknik In-Sacco . Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hoult, E.H and P.P. Briant. 1974. Practise experiments and demonstration. In :
Whiteman, P.C., L.R. Humpreys and N.H. Monteith. A Course Manual in
Tropical Pasture Science. AustraliaVice Chancerllors Committee. Brisbane. pp.
351-352.
Hubber, J.T and L. Kung. Jr. 1981. Protein and Non Protein Nitrogen Utilization in Diary
Cattle Science. J. Diary. Sci. 64 : 1170-1195.
Jhonson, R. 1966. Techniques and procedures for in-vitro and in-vivo rumen studies. J.
Animal Science. 25 : 825 – 875.
Kamaruddin, A. 1991. Rancangan Percobaan. Diktat. Fakultas Peternakan Universitas
Andalas, Padang.
Kavana, V.P.Y., J.B Kizima, Y.N Msanga, N B Kilongozi, B S J Msangi, L A
Kadeng’uk, S. Mngulu and P K Simba. 2005. Potential of pasture and forage for
ruminant production in Eastern zone of Tanzania. Livestock Research fpr Rural
Development 17(12).
Klopfenstein, Terry. 2006. Need for escape protein by grazing cattle. Animal Feed
Science Technology 60:191-199.
Lascano L, P. Avila 1 and J. Stewart. 2003. Intake, digestibility and nitrogen utilization
by sheep feed with provenances of Caliandra calothyrsus; Meissner with different
tannin structure Arch. Latinoam. Prod. Anim. 2003. 11(1): 21-28 J Anim. Sci.
Vol 81, Suppl. 1/J. Dairy Sci. Vol 86, Suppl.1.
Leng, R. A. 1991. Application of Biotechnology Nutrition of animals in Development
Countries. FAO. Rome.
Makkar, H.P. S. 2003. Effect and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to
tannins, and strategies to overcome detrimental effect of feeding tannin - rich
feeds. Small ruminant Research 49 ; 241 – 256.
Mathis, C.P. 2003. Protein and Energy Suplementationto Beef Cows Grazing New
Mexico Rangelands. Circular 564. New Mexico State University Cooperative
Extention Service.
Mathius, I. W. 1984. Hijauan gliricidia sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa. Pusat
penelitian dan pengembangan Peternakan Vol 1 No.4 pp. 19 – 23.
Maynard, L. A., J. K. Lossley., H. F. Hintz and R. G. Warner. 1979. Animal Nutrition
7th. Mc Graw-Hill Book Company, New Delhi.
McDonald, P., R.A. Edward and J. F. D. Greenhalhg. 1988. Animal Nutrition. 4th Ed.
Longman Group Ltd. London and New York.
National Academy of Science. 1984. Leucaena : Promising Forage and Tree for the
Tropics. National Academy of Science, Washington, D.C.
Satter, L. D and L. L. Slyter. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial
protein production in-vitro. Brit. J. Nutrition 32 : 199 – 200.
Sutardi, T. 1977. Ketahanan protein makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan
manfaatnya bagi produktivitas ternak. Buletin Makanan Ternak. 5 : 1 - 21.
Sutardi, T. 1979. Ikhtisar ruminologi. Bahan Penataran Khusus Peternakan Sapi Perah di
Kayu Ambon. Lembang, BLPP. Dirjen Peternakan / FAO.
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

No comments:

Post a Comment